Qatar dan Arab Saudi dikritik karena diduga mendapat keistimewaan di Kualifikasi Piala Dunia 2026.Qatar dan Arab Saudi dikritik karena diduga mendapat keistimewaan di Kualifikasi Piala Dunia 2026.

Keputusan AFC Tuai Gelombang Kritik Tentang Qatar dan Arab Saudi

Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia memasuki babak paling panas. Selama delapan hari ke depan, enam negara — Qatar, Arab Saudi, Oman, Irak, Uni Emirat Arab (UEA), dan Timnas Indonesia — akan saling berjuang memperebutkan dua tiket berharga menuju Amerika Utara. Namun, di balik semangat kompetisi itu, muncul sorotan tajam terhadap keputusan Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) yang dinilai memberikan privilege besar bagi dua negara kaya minyak: Qatar dan Arab Saudi.

AFC menunjuk kedua negara tersebut sebagai tuan rumah untuk dua grup mini di putaran keempat. Keputusan yang diumumkan pada Juni lalu ini menimbulkan tanya besar lantaran dilakukan tanpa penjelasan terbuka mengenai kriteria pemilihan. Banyak pihak menilai keputusan tersebut tidak transparan dan berpotensi menimbulkan ketimpangan dalam persaingan.

Indonesia, Irak, Oman, dan UEA disebut sempat mengajukan diri sebagai tuan rumah. Namun, usulan mereka tampaknya diabaikan tanpa alasan yang jelas. Akibatnya, muncul gelombang protes dari federasi dan pelatih yang merasa tim mereka dirugikan, termasuk dari pelatih kawakan Oman, Carlos Queiroz.

Qatar dan Arab Saudi : Jadwal Tak Seimbang, Istirahat Tak Adil 

Salah satu poin paling disorot adalah perbedaan waktu istirahat antara tim tuan rumah dan tim tamu. Qatar dan Arab Saudi dilaporkan mendapat jeda hingga enam hari antara pertandingan pertama dan kedua. Sementara lawan-lawannya, termasuk Indonesia dan Oman, hanya punya waktu istirahat sekitar 72 jam sebelum kembali bertanding.

“Situasi seperti ini tidak pernah saya lihat sepanjang karier saya,” ungkap Carlos Queiroz yang sudah berpengalaman membawa Portugal, Iran, dan Afrika Selatan ke Piala Dunia. “Kami dipaksa bermain di kandang lawan yang punya waktu persiapan seminggu. Sulit menyebut ini adil.”

Kondisi ini semakin berat bagi Oman karena lima pemain utamanya baru bergabung menjelang laga pertama setelah bermain di klub luar negeri. “Saya seperti diminta membuat omelet tanpa telur,” sindir Queiroz dengan nada getir. Pernyataan itu menggambarkan betapa frustrasinya para pelatih menghadapi ketimpangan jadwal yang dianggap merugikan.

Qatar dan Arab Saudi Dapat Keistimewaan di Kualifikasi Piala Dunia 2026

Sorotan ke AFC: Netralitas atau Keberpihakan?

Tak berhenti di situ, persoalan netralitas juga mencuat setelah PSSI mengajukan protes resmi kepada FIFA dan AFC. Protes itu muncul karena wasit yang akan memimpin laga Indonesia melawan Arab Saudi diketahui berasal dari Kuwait, negara yang memiliki hubungan diplomatik erat dengan dua tuan rumah tersebut.

“Kami hanya ingin keadilan. Wasit harus netral, sebaiknya dari Eropa atau wilayah lain yang tidak punya hubungan politik dengan peserta grup,” ujar Sumardji, manajer Timnas Indonesia.

Kontroversi makin dalam ketika laga uji coba Indonesia melawan Kuwait yang dijadwalkan pada 5 September tiba-tiba dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Pembatalan itu memunculkan spekulasi bahwa ada intervensi politik dalam proses penjadwalan maupun penunjukan ofisial pertandingan. Banyak pengamat menyebut hal ini sebagai bukti bahwa sepak bola Asia belum sepenuhnya lepas dari bayang-bayang kepentingan politik dan kekuasaan.

Duel Para Pelatih Top Dunia

Menariknya, babak ini menghadirkan sederet pelatih kelas dunia. Julen Lopetegui, mantan pelatih Real Madrid dan timnas Spanyol, kini menukangi Qatar. Arab Saudi kembali dipimpin oleh sosok karismatik Hervé Renard, yang sukses membawa mereka menumbangkan Argentina di Piala Dunia 2022.

Di sisi lain, Patrick Kluivert menjadi tumpuan harapan publik Indonesia. Pelatih asal Belanda ini bertekad membawa skuad Garuda menembus sejarah baru. Sementara Irak kini dibesut oleh Graham Arnold, yang sebelumnya sukses bersama Australia. Tak ketinggalan, Queiroz di Oman membawa pengalaman dan disiplin tinggi dalam membentuk tim yang solid.

Kehadiran para pelatih besar ini menambah daya tarik kompetisi. Namun, dengan segala keuntungan yang dimiliki Qatar dan Arab Saudi, banyak pihak yakin hasil akhir sudah bisa ditebak sejak awal. Sejumlah analis bahkan menyebut keputusan AFC ini sebagai “panggung eksklusif” untuk memastikan dua kekuatan Timur Tengah tersebut lolos.

Ketimpangan yang Mengkhawatirkan

Secara teknis, Qatar dan Arab Saudi memang memiliki fasilitas luar biasa. Infrastruktur stadion, transportasi, dan akomodasi mereka termasuk terbaik di dunia. Tapi banyak pihak menilai, keunggulan itu justru mempertebal jurang ketimpangan antar peserta.

“Sepak bola seharusnya tentang kesetaraan kesempatan. Tapi ketika satu tim bermain di kandang dengan jeda enam hari, sementara lainnya harus berpindah kota dengan waktu istirahat singkat, semangat fair play menjadi kabur,” kata salah satu analis olahraga dari Al-Ain Sports.

Selain itu, suhu panas ekstrem di Timur Tengah juga menjadi tantangan tersendiri. Tim-tim seperti Indonesia dan UEA yang tidak terbiasa bermain dalam kondisi seperti itu harus beradaptasi cepat. Kondisi ini menambah beban fisik dan mental bagi para pemain, terutama yang bermain di luar negeri dan baru bergabung menjelang pertandingan.

AFC Diminta Transparan dan Profesional

Gelombang kritik terhadap AFC semakin besar. Banyak federasi meminta badan sepak bola Asia itu membuka proses pemilihan tuan rumah secara transparan. Tanpa itu, kepercayaan publik terhadap integritas kompetisi akan terus menurun.

“Sepak bola bukan hanya soal menang dan kalah, tapi juga soal keadilan dan sportivitas,” ujar Queiroz. “Jika pihak penyelenggara tidak merasa ada yang salah, para pelatih dan pemain hanya bisa berjuang sebaik mungkin di lapangan.”

Namun, komentar Queiroz yang menyebut “Jika ini bukan keuntungan terselubung, lalu apa?” menjadi simbol kekecewaan banyak pihak. Ia menegaskan bahwa selama AFC tidak menunjukkan profesionalisme, sepak bola Asia akan sulit berkembang ke arah yang lebih modern dan kredibel.

Realitas Pahit, Harapan Tetap Ada

Meski situasi terasa tidak adil, Queiroz dan para pelatih lain bertekad untuk tetap fokus pada permainan. Mereka percaya bahwa kerja keras, disiplin, dan strategi matang masih bisa mengimbangi keunggulan tuan rumah.

Sementara bagi Timnas Indonesia, peluang lolos memang berat, tapi semangat juang dan dukungan publik bisa menjadi senjata tersendiri. Patrick Kluivert menegaskan bahwa skuad Garuda datang bukan hanya untuk melengkapi peserta, tetapi untuk berjuang sampai akhir.

“Kami tahu lawan kami berat, tapi sepak bola tidak selalu berjalan sesuai prediksi. Keajaiban selalu mungkin terjadi,” ujar Kluivert optimis.

Dalam situasi penuh kontroversi ini, seluruh mata tertuju pada AFC: apakah mereka akan menanggapi kritik dengan langkah konkret, atau membiarkan persepsi keberpihakan semakin kuat? Satu hal yang pasti, drama Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia kali ini bukan hanya tentang skor di papan, tetapi juga tentang perjuangan melawan ketidakadilan di luar lapangan.

Dengan semua dinamika yang terjadi, publik berharap bahwa semangat sportivitas masih bisa menang atas kepentingan politik. Karena pada akhirnya, sepak bola bukan hanya tentang siapa yang lolos ke Piala Dunia, tapi juga tentang bagaimana dunia memandang integritas permainan yang disebut “olahraga paling indah di dunia” ini.

By : ceksinii

Qatar vs Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *