Tiket Piala Dunia 2026: FIFA & Kontroversi Harga DinamisTiket Piala Dunia 2026: FIFA & Kontroversi Harga Dinamis

Saat gaung Piala Dunia 2026 menggema, jutaan mata di dunia menatapnya penuh harapan. Namun, begitu tiket pertama dijual, janji Gianni Infantino untuk “menyambut seluruh dunia” berubah jadi kekecewaan besar. FIFA kini menjadikan ajang ini sebagai mesin uang yang memanfaatkan emosi penggemar tanpa ampun.

Sementara itu, antrean daring yang mengular jadi bukti antusiasme penggemar. Tapi euforia itu sirna ketika harga tiket diumumkan. Tiket termurah final di Stadion MetLife—dengan jarak pandang jauh—dibanderol $2.030. Angka ini bukan hanya mengejutkan, tapi juga menyakitkan bagi banyak orang.

Akhirnya, Piala Dunia yang dulu disebut perayaan global kini hanya milik mereka yang berkantong tebal. Festival sepak bola dunia berubah menjadi ladang bisnis, tempat emosi dan harapan penggemar diperjualbelikan.

Nafsu Untung FIFA: Piala Dunia 2026 Jadi Mesin Uang Elit?

Dari NFT ke ‘Right to Buy’: Memainkan Rasa Takut Ketinggalan (FOMO)

Kisah eksploitasi ini sebenarnya bermula jauh sebelum penjualan tiket fisik dimulai. Pada awalnya, kita perlu mundur sejenak ke masa demam NFT tahun 2022. Saat itu, FIFA meluncurkan platform ambisius yang memungkinkan penggemar membeli dan memiliki momen-momen sepak bola digital. Sekilas, konsep “kepemilikan digital” ini terdengar revolusioner. Namun, nasibnya berubah drastis ketika pasar mata uang kripto runtuh dan kepercayaan publik ikut terjun bebas.

Alih-alih mengakui kegagalan proyek tersebut, FIFA justru memutar otak dan mengubah arah strategi. Kemudian, token NFT itu dikemas ulang menjadi sesuatu yang baru: sebuah “kesempatan” untuk membeli tiket Piala Dunia di masa depan. Dengan nama komersial “Right to Buy” (RTB), para penggemar diajak membeli NFT yang dijanjikan akan memberi mereka hak membeli tiket fisik suatu hari nanti. Sebagai contoh, token “Finals Right” bisa dijual hingga mencapai harga $999. Ide di baliknya tampak sederhana sekaligus licik — jika tim Anda berhasil mencapai final, Anda bisa menggunakan token tersebut untuk membeli tiket.

Sayangnya, bila tim kesayangan tersingkir di tengah jalan, token bernilai hampir seribu dolar itu langsung berubah menjadi sekadar berkas JPEG tanpa nilai, dan uang Anda hangus begitu saja.

Dengan kata lain, strategi ini bukan sekadar menjual tiket, melainkan menjual rasa takut ketinggalan (FOMO). FIFA berhasil memanfaatkan antisipasi dan kecemasan para penggemar, mendorong mereka membayar mahal demi mempertahankan secercah harapan bisa menyaksikan laga final secara langsung.

Lebih parah lagi, FIFA kemudian mengungkapkan bahwa sebagian besar pemegang token hanya diizinkan membeli tiket dengan kategori termahal. Akibatnya, banyak penggemar merasa dikhianati dan kecewa. Akhirnya, situasi ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana FIFA berhasil memonetisasi emosi dan harapan, mengubahnya menjadi investasi berisiko tinggi bagi para penggemar.

Harga Tiket Berfluktuasi: Algoritma Kesejahteraan atau Kesenjangan?

Ketika akhirnya tiket fisik dirilis, skala kenaikan harga menjadi sangat mencolok. Tiket Kategori 1 untuk semifinal mencapai hampir $3.000, sementara perempat final mendekati $1.700. Dengan demikian, harga-harga tersebut bukan lagi sekadar soal menikmati sepak bola, melainkan soal kemampuan finansial. Dan itu baru harga awal.

Selanjutnya, FIFA mengadopsi model penetapan harga tiket dinamis — strategi serupa yang mereka terapkan pada ajang Piala Dunia Antarklub. Bayangkan saja, seperti lonjakan harga tiket pesawat atau tarif transportasi daring saat jam sibuk, harga tiket Piala Dunia kini akan naik secara otomatis sesuai permintaan. Akibatnya, sistem ini menciptakan pasar yang sangat kompleks dan hierarkis, di mana hanya mereka yang tercepat dan, tentu saja, terkaya yang dapat mengaksesnya. Penggemar sejati dengan anggaran terbatas akhirnya hanya bisa gigit jari.

Sementara itu, hal yang paling memicu kemarahan publik adalah keterlibatan FIFA di pasar penjualan kembali (resale market). Pada edisi Piala Dunia sebelumnya, harga jual kembali tiket dibatasi agar tidak melebihi harga aslinya — sebuah kebijakan yang dianggap melindungi penggemar dari spekulasi. Namun kali ini, FIFA justru mencabut batasan tersebut dan, yang lebih mengejutkan, ikut bermain di pasar sekunder itu sendiri.

Akibatnya, tiket-tiket dilaporkan terjual hingga puluhan ribu dolar di platform resmi FIFA. Sebagai contoh, tiket final yang awalnya dijual $2.030, kembali muncul di pasar sekunder dengan harga mencapai $25.000. Ironisnya, FIFA mengambil keuntungan dari dua sisi transaksi — 15% dari penjual dan 15% dari pembeli. Artinya, dari setiap transaksi senilai $1.000, FIFA mengantongi $300.

Secara resmi, dalih mereka adalah untuk menghentikan praktik calo. Namun kenyataannya, kebijakan ini justru melegitimasi spekulasi dan memperkuat kesan bahwa FIFA menjadi bagian dari sistem yang mereka klaim ingin hentikan. Seperti yang diungkapkan banyak kritik, “cara termudah untuk mengalahkan calo adalah dengan menjadi calo itu sendiri.” Dan tampaknya, filosofi inilah yang kini benar-benar diadopsi oleh FIFA.

Tiket Final Piala Dunia 2026 Tembus $25.000: Ulah FIFA?

Kemarahan Penggemar dan Privatisasi Sebuah Mimpi

Di seluruh dunia, kelompok suporter bereaksi dengan campuran rasa tidak percaya, marah, dan kecewa mendalam. Mereka menilai, biaya untuk mendukung tim selama turnamen—bahkan dengan tiket termurah—akan dua kali lipat dari biaya Piala Dunia Qatar.

“Ini adalah privatisasi turnamen yang dulunya milik semua orang,” ujar Ronan Evain, perwakilan Fans Europe.

Sementara itu, FIFA membenarkan harga tinggi dengan alasan “standar pasar Amerika.” Namun kenyataannya, argumen itu mengabaikan esensi sejati Piala Dunia—bukan ajang eksklusif seperti Super Bowl, tapi perayaan universal untuk semua kalangan.

Komersialisasi Emosi: Harga untuk Setiap Perasaan

Lebih jauh lagi, Piala Dunia 2026 menegaskan bahwa sepak bola telah berubah menjadi bisnis emosi. FIFA kini tahu betul cara mengubah setiap rasa dan harapan penggemar menjadi sumber pendapatan baru.

Kini, mimpi sepak bola sebagai ruang bersama telah berubah menjadi produk premium yang dikemas dan dijual ulang. Ketika semangat kebersamaan ikut diperdagangkan, makna sejati Piala Dunia perlahan memudar. Pada akhirnya, keuntungan berbicara lebih keras daripada gairah, dan komersialisme mengaburkan keindahan permainan yang dulu menyatukan jutaan orang.

By : ceksinii

Komersialisasi Piala Dunia 2026: Tiket, NFT, dan Harga

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *