– Pemerintah menempatkan Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, sebagai salah satu titik penting dalam percepatan produksi bioetanol nasional. Upaya ini bagian dari konsolidasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mempercepat pembangunan pabrik bioetanol yang diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan bahan bakar domestik sekaligus mendukung ketahanan energi.
Target awalnya ambisius: memulai produksi komersial di Merauke pada 2027 sebagai bagian dari pengembangan kawasan food estate yang menjadi prioritas pemerintah. Realisasi tersebut dipandang sebagai langkah konkret untuk mereplikasi model pemanfaatan tebu untuk energi yang telah berhasil dijalankan negara lain.
Di sisi lain, rencana ini membuka diskusi luas soal ketersediaan bahan baku, tata kelola lahan, dan kebutuhan regulasi menyeluruh agar program bioetanol berkelanjutan — baik dari sisi ekonomi maupun lingkungan. Pemerintah dan pelaku usaha diminta bekerja sama agar pemanfaatan lahan, produksi, dan rantai pasok bioetanol berjalan efektif tanpa mengganggu ketahanan pangan.
Target Produksi dan Pengembangan Food Estate
Kementerian ESDM memfokuskan percepatan pembangunan pabrik sebagai titik kunci agar produksi bioetanol dapat segera menyentuh pasar domestik. Dalam konteks Merauke, pengembangan food estate mencakup program besar: perkebunan tebu untuk bahan baku etanol, optimalisasi lahan, serta pencetakan sawah—semua dirancang untuk saling mendukung.
Upaya ini juga mendapat dukungan antar-kementerian; pengelolaan lahan dan infrastruktur melibatkan Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pertanian sehingga skala dan tata kelola proyek dapat terkoordinasi. Untuk memperjelas target, Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung, menyatakan, “Kami harapkan 2027 sudah ada produksi bioethanol di Merauke, Papua Selatan,” seperti dikutip dari Antara.
Regulasi, Tantangan Pasokan, dan Peran BUMN
Mendorong bioetanol sebagai bahan bakar kendaraan butuh payung regulasi yang komprehensif dari hulu ke hilir—mirip mandat yang pernah diterapkan pada program biodiesel. Selain aturan penggunaan, diperlukan pula insentif dan mekanisme yang memastikan harga bioetanol kompetitif terhadap bahan bakar fosil. Wakil Menteri menegaskan pula, “Ini yang sedang kami konsolidasikan.”
Namun masalah pasokan bahan baku menjadi tantangan utama: molase, singkong, jagung, dan sorgum memiliki nilai ekonomi ganda — untuk pangan, industri, dan ekspor — sehingga persaingan penggunaan dapat menekan ketersediaan domestik dan mendorong kenaikan harga. Kondisi ini menuntut strategi diversifikasi bahan baku, kebijakan insentif, serta tata niaga yang menjamin pasokan untuk keperluan BBM tanpa merugikan sektor pangan.
Pembelajaran dari Pengalaman dan Peta Jalan Korporasi Energi
Pemerintah menaruh perhatian pada studi kasus Brasil yang berhasil menggunakan tebu sebagai bahan bakar transportasi; pembelajaran dari negara tersebut menjadi acuan dalam merancang model produksi dan distribusi bioetanol di Indonesia. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga menggarisbawahi potensi tebu Merauke untuk diolah menjadi etanol dan metanol sebagai bagian strategi transisi energi.
Dia menuturkan, “Mereka (Brasil) pakai tebu ya, bensinnya itu, mereka menuju 100 persen bisa pakai itu. Kita ini kan impor etanol dan metanol ini setiap tahun. Jadi mungkin yang di Merauke ini yang perlu kita ‘push’ untuk tebunya itu dikonversi ke etanol dan metanol saja,” ujar Bahlil di Jakarta, Jumat, 18 Juli 2025.
Di tingkat BUMN, Pertamina melalui unit New & Renewable Energy sudah menyiapkan peta jalan dan beberapa inisiatif, termasuk pembangunan pabrik bioetanol berbasis molase serta kerja sama dengan pihak swasta untuk diversifikasi sumber bahan baku. Peta jalan nasional juga menetapkan target ambisius—penyediaan bioetanol untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri pada 2030—yang menuntut percepatan investasi, kebijakan pendukung, dan sinergi antarsektor agar target produksi nasional bisa tercapai.
Implikasi Ekonomi dan Lingkungan
Jika berhasil, produksi bioetanol di Merauke akan berdampak terhadap penurunan impor bahan bakar, penciptaan lapangan kerja di kawasan food estate, serta kontribusi terhadap target dekarbonisasi transportasi nasional. Namun manfaat tersebut harus ditimbang bersama risiko seperti konversi lahan yang berpotensi mengganggu keberlanjutan ekosistem dan hak masyarakat lokal jika tidak dikelola dengan prinsip tata kelola yang adil.
Praktik terbaik memerlukan pendekatan holistik: studi kelayakan lingkungan, jaminan hak atas lahan bagi komunitas adat, serta mekanisme pembagian manfaat ekonomi. Selain itu, keberhasilan program sangat bergantung pada implementasi kebijakan yang memadukan kepentingan energi, pangan, dan lingkungan agar manfaat jangka panjang bisa dirasakan luas oleh masyarakat Indonesia.