1966: Puncak Kejayaan

Pada 30 Juli 1966, Inggris mencapai momen yang selalu dikenang dalam sejarah sepak bola mereka — mereka memenangkan Piala Dunia FIFA 1966 di Wembley, melawan West Germany (Jerman Barat), dengan skor 4-2 setelah perpanjangan waktu.

Beberapa hal yang membuat kemenangan itu abadi:

  • Hat-trick Geoff Hurst, yang menjadi satu-satunya pemain yang mencetak tiga gol dalam final Piala Dunia hingga tahun 2022 (ketika Kylian Mbappé mencetak hat-trick, tapi dalam konteks yang berbeda).Adanya “kontroversial” gol ketiga Inggris yang diputuskan oleh garis wasit (linesman) Tofiq Bahramov, saat bola mengenai mistar tetapi kemudian dianggap masuk, padahal bukti modern menunjukkan mungkin belum melewati garis.

  • Gaya kepelatihan Alf Ramsey, yang menggunakan formasi dan strategi inovatif, serta kepemimpinan para pemain seperti Bobby Moore, Alan Ball, Nobby Stiles, dan lainnya.

  • Dampak sosial yang besar — kemenangan ini membangkitkan kebanggaan nasional, terutama di Inggris pasca-Perang Dunia II yang masih dalam proses pemulihan sosial dan ekonomi.

Namun kemenangan itu juga menciptakan sebuah beban: harapan bahwa Inggris bisa kembali meraih gelar utama, terutama Piala Dunia, yang sejak itu belum pernah terulang.


Setelah 1966: Harapan, Kekecewaan, dan Tantangan

Setelah 1966, sepak bola Inggris memasuki periode yang sangat panjang tanpa gelar Piala Dunia lainnya — sebuah mimpi yang terus dibina, tetapi selalu dibayang-bayangi oleh kegagalan, kemunduran, dan terkadang faktor-faktor eksternal yang menyulitkan.

Performa Pasca-1966 di Piala Dunia dan Kejuaraan Besar

  • 1970: Inggris sebagai juara bertahan tampil di Meksiko. Mereka dihadapkan pada West Germany di babak perempat final dan memimpin 2-0, tapi kemudian kalah di masa tambahan waktu.

  • Tahun 1974 dan 1978: Inggris bahkan gagal lolos ke Piala Dunia.

  • 1982–1990-an: Ada momen-momen baik — misalnya semifinal Italia 1990; tapi selalu ada hambatan besar: kalah tendangan penalti, keputusan kontroversial, atau kurang konsistensi.

  • 2002, 2006, 2010, 2014, 2018, 2022 — Inggris sering berhasil melewati babak grup, kadang menjadi harapan, tapi pada akhirnya belum bisa membawa pulang trofi Piala Dunia, walau ada perkembangan positif terutama sejak 2018. Faktor-Faktor Penyebab Kegagalan

  1. Tekanan Ekspektasi
    Setelah 1966, publik Inggris memiliki ekspektasi tinggi, yang bisa menjadi beban besar bagi pemain dan pelatih. Semua orang mengingat “kami pemenang 1966,” dan sering kali segala hal dibandingkan dengan tim tahun itu.

  2. Kurangnya Kemenangan Melawan Tim Besar di Knockout Stage
    Sejak 1966, Inggris jarang (bahkan mungkin belum sama sekali) mengalahkan mantan juara Piala Dunia di babak gugur. Saat menghadapi tim dengan sejarah besar, Inggris sering gagal.

  3. Faktor Keberuntungan dan Momen yang Mengecewakan
    Ada gol kontroversial, keputusan wasit yang diperdebatkan, juga insiden seperti Hand of God Maradona versus Inggris 1986, tendangan penalti, adu penalti yang hilang, cedera pemain penting, dan kondisi fisik atau cuaca yang ekstrem. Semua ini memberikan elemen yang di luar kontrol pelatih/pemain.

  4. Masalah Struktural dan Kepelatihan
    Inggris sempat dikritik bahwa sistem pengembangan pemain usia muda, taktik, adaptasi terhadap sepak bola modern, dan kontinuitas pelatih kadang lemah. Pergantian pelatih sering terjadi dan mungkin mengganggu pembangunan tim jangka panjang.

  5. Mentalitas Turnamen
    Mengelola tekanan turnamen besar—jika sudah babak knock-out, turnamen di luar Inggris, cuaca, atmosfer, media—semua menjadi tantangan. Inggris kadang kesulitan menghadapi situasi-situasi krusial ini.


Kilas Balik Momen-Momen “Nyaris Berhasil”

Beberapa turnamen atau pertandingan yang hampir / sangat diharapkan tapi berujung kecewa:

  • Italia 1990: Semifinal, kalah lewat adu penalti dari Jerman Barat. Ini dianggap salah satu penampilan terbaik Inggris sejak 1966.

  • Euro 1996: Inggris jadi tuan rumah, banyak harapan, semifinal melawan Jerman yang akhirnya kalah lewat adu penalti. Memicu “what if” yang panjang.

  • Piala Dunia 2018: Mencapai semifinal di Rusia — ini dianggap bahwa Inggris mulai menemukan kembali keyakinan sebagai kontender utama.


Apakah Ada Cahaya di Ujung Terowongan?

Meskipun mimpi panjang belum terwujudkan kembali dalam bentuk trofi Piala Dunia, ada beberapa tanda positif:

  • Kepelatihan yang lebih stabil dan pendekatan yang lebih matang dalam memilih skuad, gaya bermain, dan mentalitas turnamen.

  • Generasi pemain muda yang berbakat dan peningkatan dalam fasilitas pengembangan pemain.

  • Performa lebih baik di Kejuaraan Eropa dan harapan bahwa Inggris bisa lebih konsisten di Piala Dunia mendatang.


Kesimpulan

Sejak kemenangan monumental tahun 1966, Inggris hidup dalam bayang-bayang masa lalu—di mana satu gelar dunia menjadi target yang selalu diingat, selalu dicita-citakan, tetapi selalu jauh dari genggaman. Mimpi itu menjadi bahan motivasi, sekaligus sumber rasa frustrasi nasional yang berulang kali terulang.

Sampai kapan mimpi itu akan terus menjadi mimpi, atau kapan mimpi itu akan kembali menjadi kenyataan—itu tergantung pada bagaimana Inggris bisa memperbaiki aspek-aspek seperti kepemimpinan, mental turnamen, konsistensi, dan mungkin sedikit keberuntungan.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *