Inggris Tak Lagi Diunggulkan, tapi Semangat Juara Tetap Menyala
Piala Dunia 2026 diprediksi akan menjadi salah satu turnamen paling seru dalam sejarah sepak bola modern. Dengan format baru yang melibatkan 48 tim, peluang bagi negara-negara non-tradisional juara untuk mencuri perhatian semakin besar. Namun menariknya, Inggris—negara yang disebut sebagai “rumah sepak bola”—justru datang bukan sebagai favorit, melainkan underdogs.
Status tersebut diakui langsung oleh pelatih kepala Thomas Tuchel. Meskipun Inggris tampil mengesankan di babak kualifikasi, Tuchel dengan jujur menyebut timnya belum layak disebut unggulan utama. “Kami akan datang sebagai underdogs di Piala Dunia. Kami belum memenangkan trofi besar selama puluhan tahun. Jadi, kami tidak bisa menyebut diri kami favorit,” kata mantan manajer Chelsea itu.
60 Tahun Penantian yang Menyakitkan
Sudah hampir enam dekade lamanya Inggris menunggu gelar juara dunia. Satu-satunya kejayaan mereka terjadi pada tahun 1966, saat Bobby Charlton dan kawan-kawan menjuarai Piala Dunia di Wembley. Sejak itu, The Three Lions terus berjuang namun selalu tersandung di momen penting.
Dalam satu dekade terakhir, performa Inggris memang menunjukkan grafik positif. Di bawah Gareth Southgate, mereka berhasil menembus semifinal Piala Dunia 2018 sebelum disingkirkan Prancis, sang juara bertahan. Empat tahun kemudian, di Qatar 2022, Inggris hanya mampu sampai perempat final setelah kalah tipis dari Prancis lagi.
Namun di turnamen Euro, perjalanan mereka juga menyisakan luka. Dua kali tampil di final, yakni Euro 2020 dan Euro 2024, Inggris harus mengakui keunggulan lawan—masing-masing Italia dan Spanyol. Kegagalan demi kegagalan itu menegaskan betapa sulitnya The Three Lions untuk kembali meraih supremasi di level tertinggi.
Tuchel: Kami Tidak Ingin Terbebani Label Favorit
Thomas Tuchel, yang dikenal dengan pendekatan taktik cerdas dan disiplin tinggi, menilai status underdogs justru bisa menjadi keuntungan bagi timnya. Ia tak ingin para pemainnya terbebani ekspektasi besar yang justru dapat menekan mental mereka.
“Kadang, ketika kamu disebut favorit, kamu justru kehilangan fokus. Saya ingin tim ini bermain dengan bebas, penuh keyakinan, dan semangat berjuang,” ujar Tuchel. “Kami ingin lawan merasa tidak nyaman saat menghadapi kami. Itu tujuan kami—menjadi tim yang tak ingin dihadapi siapa pun.”
Tuchel juga mencontohkan analogi menarik. “Jika kamu tak pernah juara Wimbledon, kamu mungkin disebut kuat, tapi bukan favorit. Begitu juga di Piala Dunia. Brasil, Argentina, Spanyol, dan Prancis sudah punya catatan juara. Tapi kami tetap punya peluang. Yang penting, kami tahu mengapa kami ada di sana dan apa yang ingin kami capai,” tambahnya.
Membangun Tim, Bukan Sekadar Kumpulan Bintang
Salah satu fokus utama Tuchel adalah membangun kekompakan tim. Ia menolak konsep “tim bertabur bintang” yang kerap jadi bumerang bagi Inggris di masa lalu. Dalam laga uji coba melawan Wales di Wembley, misalnya, Tuchel sengaja tidak memanggil Jude Bellingham dan Phil Foden yang baru pulih dari cedera.
“Kami tidak hanya mengumpulkan pemain berbakat, tapi kami membangun tim yang solid,” jelasnya. “Terkadang, Anda harus membuat keputusan sulit. Saya berharap keputusan ini tidak salah. Tujuan kami bukan sekadar tampil gemilang, tapi menciptakan tim yang siap memenangkan trofi.”
Keputusan tersebut menunjukkan bagaimana Tuchel menekankan pentingnya kerja sama dan strategi dibanding hanya mengandalkan nama besar. Ia ingin Inggris menjadi tim yang kompak, tangguh, dan berkarakter, bukan sekadar tim glamor dengan deretan pemain papan atas.
Perjalanan Ingris ke Piala Dunia 2026 Semakin Dekat
Inggris kini hanya selangkah lagi untuk memastikan tiket ke putaran final Piala Dunia 2026. Jika berhasil mengalahkan Latvia dan di laga lain Serbia bermain imbang dengan Albania, maka The Three Lions otomatis lolos sebagai juara grup. Hasil tersebut akan menjadi bukti bahwa proyek pembenahan yang dibangun Tuchel berjalan dengan baik.
Namun, Tuchel enggan jemawa. Ia menegaskan bahwa perjalanan sebenarnya baru dimulai setelah timnya memastikan kelolosan. “Kami belum bisa bicara soal juara sebelum benar-benar berada di sana. Fokus kami saat ini adalah menjaga konsistensi dan memastikan setiap pemain paham perannya,” ujarnya tegas.
Semangat Baru, Harapan Baru
Meski datang bukan sebagai favorit, atmosfer di ruang ganti tim Inggris dikabarkan sangat positif. Pemain-pemain muda seperti Bukayo Saka, Declan Rice, dan Cole Palmer menunjukkan perkembangan pesat dan siap menjadi tulang punggung generasi baru The Three Lions.
Sementara itu, kapten tim Harry Kane tetap menjadi sosok sentral yang memberikan pengalaman dan ketenangan di lapangan. “Kami tahu apa yang diharapkan dari kami. Mungkin orang-orang tidak menjagokan Inggris, tapi justru itu yang membuat kami bersemangat. Kami ingin membuktikan bahwa kerja keras bisa mengalahkan sejarah,” kata Kane dalam sebuah wawancara.
Mimpi yang Tak Pernah Padam
Harapan publik Inggris kembali membara. Mereka tahu jalan menuju kejayaan tidak akan mudah, tetapi semangat untuk mengakhiri penantian panjang tetap menyala. Dengan pendekatan taktis Tuchel dan generasi pemain muda yang haus akan kemenangan, Inggris memiliki modal kuat untuk menciptakan kejutan di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko tahun depan.
Sejarah memang tidak berpihak pada mereka selama hampir 60 tahun, namun sepak bola selalu menyimpan kejutan. Inggris mungkin datang sebagai underdogs, tetapi seperti kata Tuchel, “Kadang tim yang tak diunggulkan justru punya cerita paling indah untuk ditulis.”
Dan siapa tahu, mungkin Piala Dunia 2026 akan menjadi babak baru dalam kisah panjang sepak bola Inggris—sebuah kisah tentang tim yang berani bermimpi, bekerja keras, dan akhirnya menaklukkan dunia.