Menjelang Piala Dunia 2026, Presiden FIFA Gianni Infantino kembali menarik perhatian dunia sepak bola dengan peluncuran Penghargaan Perdamaian FIFA atau FIFA Peace Prize – Football Unites the World. Penghargaan ini diumumkan akan diberikan untuk pertama kalinya pada acara pengundian grup Piala Dunia 2026 di Washington DC, Desember 2025.

Langkah ini memunculkan banyak pertanyaan: mengapa FIFA tiba-tiba merasa perlu menciptakan penghargaan baru bertema perdamaian? Apa motif di baliknya? Dan bagaimana dampaknya terhadap citra organisasi sepak bola terbesar di dunia ini?

Artikel ini akan membahas berbagai alasan di balik keputusan Gianni Infantino tersebut — mulai dari nilai simbolis hingga strategi politik dan citra global FIFA.


1. Dunia yang semakin terpecah dan peran sepak bola sebagai simbol persatuan

Gianni Infantino menekankan bahwa sepak bola memiliki kekuatan luar biasa untuk menyatukan manusia. Dalam berbagai kesempatan, ia mengungkapkan bahwa di tengah meningkatnya konflik, polarisasi politik, dan ketegangan sosial di berbagai belahan dunia, olahraga ini dapat menjadi bahasa universal yang menjembatani perbedaan.

Piala Dunia, sebagai turnamen dengan jangkauan global paling luas, menjadi bukti nyata dari kekuatan tersebut. Di lapangan, pemain dari berbagai negara, ras, dan budaya beradu kemampuan tanpa memandang asal usul atau ideologi. Di tribun penonton, jutaan orang dari latar belakang yang berbeda bersatu dalam semangat yang sama: cinta terhadap sepak bola.

Melalui penghargaan perdamaian ini, Infantino ingin menegaskan kembali peran sepak bola sebagai alat persatuan global. Ia ingin memberikan pengakuan kepada individu atau lembaga yang menggunakan olahraga ini untuk membangun jembatan antar komunitas, mempromosikan dialog, dan memperjuangkan perdamaian.


2. Momentum Piala Dunia 2026 sebagai panggung global

Piala Dunia 2026 akan digelar di tiga negara — Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko — dan menjadi turnamen terbesar dalam sejarah dengan 48 tim peserta. Ajang ini diproyeksikan menarik miliaran penonton di seluruh dunia.

FIFA memanfaatkan momen besar ini sebagai panggung untuk memperkenalkan penghargaan perdamaian. Dengan sorotan global yang begitu luas, peluncuran penghargaan ini otomatis mendapat perhatian besar dari media internasional.

Peluncuran tersebut juga mengandung simbolisme kuat: jika Piala Dunia melambangkan kompetisi dan persaingan, maka penghargaan perdamaian hadir sebagai penyeimbang — sebuah pesan bahwa meski kompetisi penting, nilai-nilai kemanusiaan dan persatuan tetap menjadi inti dari olahraga ini.

Bagi Infantino, langkah ini bukan sekadar acara simbolis, tetapi juga strategi komunikasi global. Dengan tema “Football Unites the World”, FIFA berusaha menegaskan dirinya sebagai organisasi yang bukan hanya mengatur pertandingan, tetapi juga menggerakkan nilai-nilai sosial.


3. Upaya memperkuat citra FIFA di tengah kritik

Tidak bisa dipungkiri, FIFA selama bertahun-tahun kerap dikaitkan dengan kontroversi: mulai dari kasus korupsi, tuduhan pelanggaran hak pekerja migran di Qatar, hingga isu politik di sekitar penentuan tuan rumah turnamen.

Gianni Infantino mewarisi organisasi dengan reputasi yang sempat tercoreng. Sejak menjabat pada 2016, ia berupaya keras memperbaiki citra FIFA dan memulihkan kepercayaan publik. Salah satu caranya adalah dengan mengarahkan FIFA pada proyek-proyek sosial, pendidikan, dan kemanusiaan.

Penghargaan perdamaian ini dapat dilihat sebagai bagian dari strategi tersebut. Dengan menonjolkan komitmen terhadap perdamaian dan kemanusiaan, FIFA berusaha menunjukkan bahwa mereka telah berubah — dari organisasi yang dahulu dikritik karena kepentingan politik dan finansial, menjadi lembaga global yang berkontribusi bagi masyarakat dunia.

Secara tidak langsung, ini juga menjadi alat diplomasi citra bagi Infantino pribadi. Ia ingin dikenal bukan hanya sebagai administrator olahraga, tetapi juga sebagai pemimpin global yang mendorong nilai-nilai kemanusiaan melalui sepak bola.


4. Sepak bola sebagai jembatan antar komunitas

FIFA mengklaim memiliki penggemar lebih dari lima miliar orang di seluruh dunia. Angka ini menunjukkan bahwa sepak bola adalah satu-satunya fenomena budaya yang benar-benar lintas batas — melampaui agama, ras, maupun bahasa.

Melalui penghargaan ini, FIFA ingin menegaskan bahwa setiap tindakan kecil yang mempromosikan perdamaian lewat sepak bola layak diakui. Misalnya, proyek yang menggunakan sepak bola untuk mempertemukan anak-anak dari negara konflik, atau inisiatif yang membantu pemuda keluar dari lingkaran kekerasan melalui olahraga.

Infantino menilai bahwa penghargaan semacam ini dapat menjadi inspirasi bagi banyak pihak untuk menggunakan sepak bola sebagai alat perubahan sosial. Ia ingin menumbuhkan semangat bahwa sepak bola tidak hanya soal menang atau kalah, tetapi juga tentang solidaritas dan harapan bagi generasi mendatang.


5. Strategi menjelang Piala Dunia: memperkuat dukungan dan legitimasi

Selain alasan idealis, ada pula faktor strategis. Piala Dunia 2026 melibatkan tiga negara besar dengan sistem politik yang berbeda dan tingkat sensitivitas sosial yang tinggi. Dalam konteks ini, FIFA perlu memastikan bahwa turnamen berjalan dengan citra positif.

Dengan mengangkat tema perdamaian dan persatuan, FIFA berupaya membangun narasi global yang kuat: bahwa turnamen ini bukan hanya pesta olahraga, tetapi juga perayaan kemanusiaan. Narasi tersebut sangat efektif untuk meredam kritik, memperkuat dukungan publik, dan menarik sponsor yang ingin dikaitkan dengan pesan positif.

Secara komunikasi, penghargaan ini juga memberikan “lapisan nilai” tambahan bagi FIFA, menjadikannya organisasi yang peduli pada isu global dan bukan sekadar institusi bisnis.


6. Kritik dan skeptisisme publik

Meski ide penghargaan ini terdengar mulia, tidak sedikit pihak yang memandangnya dengan sinis. Beberapa pengamat menilai bahwa FIFA hanya berusaha membangun citra baik menjelang Piala Dunia, bukan benar-benar peduli terhadap perdamaian dunia.

Kritik lain muncul karena dugaan bahwa penghargaan ini mungkin memiliki motif politik. Ada spekulasi bahwa penghargaan pertama akan diberikan kepada tokoh yang memiliki hubungan dekat dengan Infantino, termasuk nama-nama yang kontroversial.

Selain itu, sebagian kalangan menyoroti kontradiksi antara pesan perdamaian FIFA dan praktik organisasi tersebut. Misalnya, selama Piala Dunia Qatar, FIFA dikritik karena kurang memperhatikan hak-hak pekerja migran. Jika FIFA ingin benar-benar menegakkan nilai perdamaian dan kemanusiaan, banyak yang menuntut agar organisasi ini memperbaiki kebijakan internalnya terlebih dahulu.

Kritik-kritik ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan penghargaan ini sangat bergantung pada kredibilitas pelaksanaannya. Jika proses pemilihan penerima dilakukan secara transparan dan independen, penghargaan ini bisa menjadi simbol positif. Sebaliknya, jika terkesan politis, ia justru akan memperburuk reputasi FIFA.


7. Dampak dan harapan jangka panjang

Jika dilaksanakan dengan benar, penghargaan perdamaian FIFA berpotensi memberikan dampak positif besar. Ia dapat menjadi platform bagi aktivis, pelatih, dan komunitas yang selama ini bekerja di akar rumput menggunakan sepak bola untuk membangun harmoni sosial.

Lebih jauh, penghargaan ini dapat memperluas peran sepak bola dari sekadar olahraga menjadi alat diplomasi budaya. Negara-negara yang terlibat konflik dapat menggunakan sepak bola sebagai medium dialog dan kerja sama.

Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, FIFA harus memastikan bahwa penghargaan ini tidak berhenti pada seremoni tahunan. Harus ada tindak lanjut konkret — seperti program pembinaan, dukungan dana bagi inisiatif perdamaian, dan kolaborasi dengan organisasi kemanusiaan.


8. Kesimpulan

Peluncuran Penghargaan Perdamaian FIFA oleh Gianni Infantino jelang Piala Dunia 2026 memiliki banyak lapisan makna. Di satu sisi, ini merupakan langkah idealis untuk menjadikan sepak bola sebagai kekuatan pemersatu dunia. Di sisi lain, ada dimensi strategis dan citra yang tidak bisa diabaikan.

Terlepas dari berbagai kritik, inisiatif ini menunjukkan bahwa FIFA berusaha menegaskan perannya di luar ranah olahraga. Sepak bola kini bukan hanya tentang skor di papan, tetapi juga tentang nilai-nilai yang ditanamkan kepada masyarakat global.

Apakah penghargaan ini akan benar-benar menjadi simbol perdamaian atau sekadar alat politik citra, semuanya tergantung pada konsistensi dan integritas FIFA ke depan. Jika dijalankan dengan niat tulus dan transparan, penghargaan ini bisa menjadi warisan positif bagi dunia sepak bola dan kemanusiaan secara keseluruhan.

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *